oleh Arif Nur Setiawan, 1006699745
Mata Kuliah Pengkajian Puisi Jawa
Judul: “Puisi Jawa: Struktur dan
Estetika, Bab Puisi Jawa Tengahan: Kidung”
Penulis: Karsono H Saputra
Data Publikasi: Wedatama Widya Sastra, Jakarta,
Cetakan Kedua, Februari 2012, 195 halaman
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, kidung berarti 1.
nyanyian, lagu (syair yang dinyanyikan); 2. puisi. Kidung atau yang sering disamakan dengan sekar tengahan merupakan salah satu karya sastra Jawa. Robson
(1971: 16 – 20) membedakan pengertian antara kidung sebagai suatu puisi yang berupa tembang dan sekar tengahan dan tengahan sebagai pola metrum.[1]
Pigeaud (1967: 23) menyebut puisi Jawa tengahan dengan tembang tengahan atau tengahan
dan mengelompokkannya ke dalam sastra Jawa-Bali.[2]
Pendapat tersebut didukung oleh Zoetmulder (1983: 33) “Kebanyakan kidung ditulis di Bali, dan berdasarkan karya-karya
yang kita miliki, kita dapat bernalar bahwa semua
sastra Jawa Pertengahan yang kita kenal dewasa ini, berasal dari Bali”.[3]
Dalam hal ini, Zoetmulder menggunakan istilah kidung dengan pengertian sebagai “bentuk” wacana sastra, sedang
istilah tangahan atau pertengahan lebih digunakan untuk
menyebut nama percabangan bahasa Jawa yang berdampingan dengan istilah bahasa
Jawa kuna dan bahasa Jawa modern.[4]
Sebagai bentuk puisi, kidung memiliki beberapa pengertian, yaitu: (1) puisi yang ditulis dengan bahasa Jawa tengahan; (2) pola (-pola) metrum puisi yang sesuai dengan jenis dan namanya; dan (3) wacana (sastra) berbentuk puisi yang memiliki konstruksi pembaitan secara khas yang mengacu pada susunan pola metrum dalam satu pupuh. Robson (1981: 105)
memperkirakan kemungkinan kidung sudah
dipergunakan sebagai bingkai wacana sastra pada abad ke-15.[5]
Pendapat Robson tersebut tidak jauh berbeda dengan perkiraan Poerbatjaraka
(1957), Pigeaud (1967), dan Zoetmulder (1983). Dalam tradisi sastra Jawa pada
abad ke-15 kita dapat mengenal tiga macam puisi, yaitu kakawin (puisi Jawa kuna), kidung
(puisi Jawa tengahan), dan macapat
(puisi Jawa baru). Seiring waktu berlalu, kakawin
sedikit mulai ditinggalkan masyarakat Jawa sebagai bentuk ungkap sastra,
tetapi masih produktif di Bali hingga abad XX. Kidung menurut Pigeaud, Robson, dan Zoetmulder merupakan sastra
Jawa Bali, sedang macapat merupakan
puisi Jawa baru yang masih produktif hingga sekarang. Selain itu, macapat digunakan untuk membingkai
wacana non-sastra. Macapat juga
dikenal di beberapa daerah seperti Sunda, Bali, dan Lombok, tetapi dengan
menggunakan bahasa setempat.
Sebagai bentuk puisi, kidung memiliki beberapa pengertian, yaitu: (1) puisi yang ditulis dengan bahasa Jawa tengahan; (2) pola (-pola) metrum puisi yang sesuai dengan jenis dan namanya; dan (3) wacana (sastra) berbentuk puisi yang memiliki konstruksi pembaitan secara khas yang mengacu pada susunan pola metrum dalam satu pupuh.
Dalam kidung, dijumpai pula aspek bunyi yang terdiri atas bunyi-bunyi segmental dan suprasegmental. Segmental mengacu pada satuan-satuan gramatika, sedang suprasegmental hadir ketika divokalisasikan atau akibat pembacaan. Secara tradisional, kidung dikelompokkan ke dalam puisi bertembang, yang dinyanyikan sesuai dengan pola susuna titilaras dan konvensi-konvensinya. Sugriwa (1970: 5) mengatakan “jatuhnya lingsa boleh memotong suku kata” dan Zoetmulder (1983: 144) juga mengatakan bahwa para kawi sering menggunakan enjabement ‘pemenggalan atau jeda akhir larik sebagai akibat ketentuan metrum’ pada karya kidung-nya.[6] Seperti halnya macapat, kidung juga memiliki rekayasa bahasa pada tingkat leksikal sebagai akibat guru lagu.
Satuan-satuan spasial wacana kidung yaitu gatra, pada, dan pupuh. Gatra dibingkai guru lagu dan guru wilangan. Sebagai contoh dalam Kidung Sundãyana, guru lagu dan guru wilangan sebagai pemarkah gatra relatif lebih ketat dibandingkan dengan Wangbang Wideya yang sangat longgar. Dalam hal ini, guru gatra sebagai pemarkah pada dalam wacana yang sepola dengan Wangbang Wideya seolah-olah tidak tampak. Satuan spasial pupuh ditandai oleh pada-pada yang menggunakan pola metrum yang sama, tetapi untuk beberapa wacana memperlihatkan bahwa pembaitan yang terdiri atas pada-pada dengan pola metrum yang berbeda, yaitu: kawitan, pemawak, dan penawa. Satu pupuh dibingkai dengan pola pamandana yang menggunakan jenis pada kawitan, pada-pada pemawak, dan pada-pada penawa dengan pola tetap dan perbedaan antar-wacana hanya terletak pada jumlah pada, sebagai contoh Kidung Anglingdarma dan Wangbang Wideya. Selain pada-pada kawitan, pemawak, dan penawa, pada akhir wacana kidung sering dijumpai wacana tambahan yang berupa kolofon. Kolofon tersebut biasanya tidak dibingkai dengan metrum kidung. Kolofon dalam wacana kidung bukan merupakan wacana inti, tetapi penjelasan tambahan untuk wacana inti, seperti seluk beluk reproduksi atau penyalinan teks.
Bahasa yang digunakan dalam wacana kidung adalah bahasa Jawa tengahan. Dari aspek kebahasaan, hal ini jelas berbeda jika dibandingkan dengan macapat yang menggunakan bahasa Jawa baru. Namun keduanya memiliki kesamaan terutama dalam hal konvensi estetik. Selain itu, pada dasarnya rekayasa bahasa dalam kidung memiliki kesamaan dengan macapat. Dalam wacana kidung juga terdapat gejala bahasa, yang dalam macapat dikenal dengan sasmitaning tembang dan sengkalan. Pemakaian sasmitaning tembang dalam kidung relatif tidak produktif jika dibandingan dengan wacana macapat pada umumnya. Sengkalan dalam kidung pun kebanyakan merujuk pada sistem penanggalan Ҫaka atau suryasengkala.
Wacana-wacana kidung sebagian besar merupakan wacana naratif dan termasuk ke dalam wacana susastra. Wacana kidung memiliki beberapa sifat yang tidak dimiliki oleh sastra kakawin, misalnya Kidung Sudamala dan Kidung Sritanjung bersifat kerakyatan dan bukan sastra keraton, Kidung Harsyawijaya, Kidung Sundãyana, Kidung Ranggalawe, dan Kidung Sorandaka yang merupakan karya sastra sejarah.
Dalam kidung banyak dijumpai latar dan penokohan. Menurut Zoetmulder, penokohan dalam kidung sangat sederhana dan tokoh-tokohnya sangat stereotip dan tidak mengalami perkembangan watak. Hal ini merupakan salah satu ciri wacana sastra klasik Jawa. Berbanding terbalik dengan penokohan dan tokoh, latar dalam kidung biasanya relatif lebih banyak dinarasikan, rinci, dan cenderung muncul secara berulang-ulang. Kekhasan dalam latar sosial wacana kidung adalah deskripsi busana tokoh yang rinci dan cenderung diulang-ulang. Terakhir, aspek pengujaran dalam kidung yang sederhana semestinya muncul karena latar belakang tertentu, sesuai dengan karya sastra yang bersangkutan dilahirkan dan merupakan refleksi zaman. Namun, belum banyak penelitian sastra kidung sehingga masalah-masalah yang ada belum terpecahkan atau terselesaikan.
[1]
S.O. Robson, Wangbang Wiideya. A
Javanese Pañji Romance. The Hague: Martinus Njhoff.
[2]
Th. Pigeaud, Literature of Java.
Catalogue Raisonné of Javanese Manuscripts in the Library of the University of
Leiden and Other Public Collections in the Netherland, vol. 1. The Hague:
Martinus Nyhoff.
[3] P.J Zoetmulder, Kalangwan. Sastra
Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.
[4]
Karsono H Saputra, Puisi Jawa: Struktur dan Estetika.
Jakarta: Wedatama Widya Sastra, halaman 140.
[5]
S.O. Robson, “Notes The Cultural Background of The Kidung Literature” dalam Papers
on Indonesians Languages and Literatures. London-Paris. Indonesian
Etymological Project School of Oriental and African Studies Unverity of
London-Association Archipel Ecole des Hautes-Etudes en Sciences Sociales.
[6] Karsono H Saputra, Puisi
Jawa: Struktur dan Estetika. Jakarta: Wedatama Widya Sastra, halaman 147.
2 komentar
Awesome
ReplyDeleteRudal Yakhont di Fregat KRI Oswald Siahaan
ReplyDelete