Amenangi jaman edan,
ewuh aya ing pambudi,
milu edan nora tahan,
yen tan milu anglakoni,
boya kaduman melik,
kaliren wekasanipun,
ndilalah karsa Allah,
begja begjane kang lali,
luwih begja kang eling
lawan waspada.
(R. Ng. Ranggawarsita,
Kalatidha, pada 7)
Segala puji
dan syukur untuk Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa memberikan kesehatan,
kenikmatan, pertolongan, berkah, dan petunjuk. Semoga segala pemberian-Nya
dapat kita manfaatkan secara maksimal di alam dunia ini. Kutipan di atas
merupakan gambaran yang tepat untuk mendeskripsikan keadaan dewasa ini. Yah,
bisa kita sebut zaman sekarang ini adalah jaman edan ‘zaman gila.’
Sebagian besar orang berlomba-lomba untuk mencapai dan menguasai puncak langit
ketujuh. Namun, hal yang patut kita catat adalah seberuntung-beruntungnya orang
yang lupa, masih tetap saja lebih beruntung orang yang selalu ingat atau sadar
dan waspada.
Sekali lagi, terima kasih kepada Gusti,
semua orang, dan alam semesta yang telah menggariskan ini semua.
Sabtu, 8 September 2012
Pagi-pagi
sekali, matahari belum berani menampakkan wajahnya, dunia masih gelap. Hanya
saja remang-remang jalanan kota mengiringi perjalanan kami berlima, saya,
Jhane, Vivi, Tila, dan Alam menuju Rumah Perubahan untuk mengikuti kegiatan
Safari Perubahan. Satu setengah jam pun berlalu, sekitar pukul 06.30 WIB kami
tiba di Rumah Perubahan. Masih sepi, pintu gerbang pun masih tertutup rapat.
Tak lama kemudian, pintu gerbang dibukakan oleh Pak Satpam. Kami pun
dipersilahkan mengunggu di lantai dua.
Di lantai
dua salah satu gedung di Rumah Perubahan, kami beristirahat sejenak sambil
sarapan, terima kasih ya rotinya. Seiring berdetaknya jarum jam, satu per satu
peserta Safari Perubahan pun berdatangan. Setelah semuanya berkumpul, Pak
Rhenald Kasali memberikan arahan dan pesan-pesan kepada kami. Tak lupa, doa pun
kami panjatkan utuk memperoleh lindungan dari-Nya.
Kami
bergegas menuju parkiran bus yang tak jauh dari Rumah Perubahan. Setelah
persiapan dirasa sudah lengkap, kami pun berangkat menuju Semarang. Tak lupa
disertai juga dengan doa, semelah Mbah Buyut[1]. Di
sepanjang perjalanan, kami isi dengan perkenalan, diskusi, berbagi cerita dan
tawa. Bagi saya pribadi, perjalanan ini saya maknai dengan prihatin[2].
“Jakarta hingga Salatiga, bukanlah jarak
yang dekat, banyak cerita di luar jendela sana.”
-Arif
Nur Setiawan, 2012-
Mungkin tak
hanya saya yang merasakan perjalanan ini begitu indah. Hayo, acungkan jari
tangan kalian! Melihat gedung-gedung pencakar langit, kawasan industri yang
megah, bukit-bukit yang ditumbuhi ilalang, sungai-sungai yang kadang dihiasi
sampah kota, hamparan sawah yang mulai menguning hingga kering, ditambah
eloknya pantai utara yang menggoda setiap jiwa manusia. Dhuh Gusti, terima
kasih.
Sang Surya
pun dengan setia menemani sepanjang hari, hingga pada waktunya ia kembali ke
peraduan. Begitu indah, sinarnya jingga kekuningan yang semakin lama semakin
memerah dan redup. Namun, perjalanan masih panjang sobat, masih di Kota
Pemalang.
Singkat
cerita, sampailah kita di Kota Semarang, tepatnya di Wisma BP DIKJUR Semarang.
Kami disambut langsung oleh Pak Rhenald Kasali, Pak iLik sAs, dan rombongan
lain yang telah datang terlebih dahulu. Kami langsung diarahkan ke kamar
masing-masing untuk beristirahat dan makan malam.
Minggu, 9 September 2012
Pagi hari
yang cerah menyambut kami di kota Semarang. Setelah sarapan usai kami langsung
menuju Hotel Dafam untuk mengikuti kegiatan Temu Nasional Kewirausahaan Sosial
2012 yang diselenggarakan oleh Jaringan RumahUSAHA dan AKSI Jawa Tengah.
Kegiatan tersebut merupakan kegiatan pertemuan para praktisi kewirausahaan
sosial se-Indonesia yang ditujukan untuk meningkatkan vibrasi terutama dalam
bidang kewirausahaan sosial, sekaligus sebagai wadah silaturahmi secara
berkelanjutan.
Kegiatan
Temu Nasional yang bertemakan “Kewirausahaan Sosial & Kemitraan Lintas
Sektoral sebagai Jalan Perubahan” kali ini diselenggarakan di Astoria Ballroom
Hotel Dafam Semarang, Jalan Imam Bonjol 188 Semarang. Pertemuan ini merupakan
salah satu hajatan terbesar yang diselenggarakan oleh Asosiasi Kewirausahaan
Sosial Indonesia (AKSI).
Hampir
seluruh pendiri dan deklarator organisasi ini menghadiri kegiatan ini, di
antaranya adalah Bambang Ismawan, Rhenald Kasali, Sandiaga Uno, Septi Peni
Wulandani, Mira Kusumarini, Indro Surono, dan Wahyu Indrijo. Beberapa nama
besar lain di dunia kewirausahaan sosial seperti Masril Koto, Bang Idin, Toto
Sugito, drg. Anto Bagus, Sugeng Siswoyudono, Sumadi, Bahruddin, Fahra Ciciek,
Gus Hafidh, dan banyak nama lainnya juga hadir untuk memeriahkan acara ini.
Wakil
Gubernur Jawa Tengah, Rustriningsih, mengatakan sangat mendukung acara-acara
kewirausahaan sosial seperti ini, kegiatan Temu Nasional ini juga menghadirkan
Irma Suryati dan Ciptono sebagai pembuka. Keduanya adalah inovator sosial yang
mengajak kaum difabel menjadi produktif melalui berbagai kegiatan. Pak Ciptono
merupakan salah satu wirausaha sosial yang mampu memberdayakan 600 siswa SLB
Negeri Semarang menjadi produktif, mulai dari menyulam, melukis hingga
memproduksi handycraft dan tusuk
sate.
Selanjutnya,
para peserta diajak untuk saling bertukar pikiran dan cerita dalam berbagai
diskusi topikal yang telah disiapkan oleh sekretariat AKSI Indonesia. Pada
pertengahan Temu Nasional ini, disuguhkan pula forum khas JRU, Forum Wedangan
yang kali ini dipersembahkan spesial bersama AKSI Indonesia, dengan narasumber
Sandiaga S. Uno, Bang Idin, Rhenald Kasali, Kukrit Suryo Wicaksono, dan Prie
GS.
Malam
harinya, ditutup oleh perbincangan bertemakan Pangan, Lingkungan Hidup, dan
Kearifan Lokal oleh Toto Sugito (Bike 2 Work Community), Djufry (Yayasan
Telapak), Agung Alit (Mitra Bali), Indro Surono (Aliansi Organis Indonesia) dan
moderator Cahyo Suryanto dari Pusdakota. “Melalui pertemuan-pertemuan kewirausahaan
sosial seperti inilah, pendekatan penyelesaian berbagai masalah sosial akan
terasa lebih bermakna dan berkelanjutan. Acara-acara demikianlah yang pada
akhirnya bermuara pada jalan perubahan, semoga!” tutur Shanty Rosalia, pembawa
acara Temu Nasional menutup acara.
Pertanyaan
mendasar. Apakah itu Kewirausahaan Sosial? Terlalu sulit memang untuk
merumuskannya, yang hampir mirip dengan apa itu kebudayaan? Kebudayaan
merupakan sebuah “objek” yang tidak mudah didefinisikan. Pendefinisian
kebudayaan terkait dengan kemultidimensian manusia sebagai subjek yang
menghasilkan kebudayaan tersebut[3]. Setiap orang mempunyai definisi dan
perspektif masing-masing. Saya pun mendefinisikan Kewirausahaan Sosial dengan
sederhana.
“Kewirausahaan Sosial adalah salah satu
jalan menuju kesempurnaan hidup.”
– Arif Nur Setiawan, 2012-
Senin, 10 September
2012
Pukul tujuh,
kami telah bersiap-siap dan diawali dengan sarapan bersama. Selesai sarapan,
kami bergegas berangkat ke SLB Negeri Semarang. Di SLB tersebut kami disambut
dengan senyum dan tawa. Sebagian siswa tampaknya sedang asyik menyelesaikan
karyanya, sebagian lagi ada yang menawarkan dan menjelaskan karya-karyanya yang
sudah jadi.
Kami
diarahkan ke aula gedung SLB. Kali ini bukan untuk acara seminar ataupun
workshop, tapi acara hiburan dari siswa-siswi SLB, ada yang bernyayi, berjoget,
sampai menghafal kejadian-kejadian yang pernah dialami. Memang benar-benar luar
biasa dan Allahu Akbar!
Tak
ketinggalan, kami mengujungi salah satu anggota JRU, yaitu usahanya di bidang
kerajinan tangan, namanya Cantik – Creative Craft dan Wurli. Pokoknya
unik dan menarik. Harganya bersaing dan terjangkau lho kawan.
Selanjutnya,
roda bis pun bergerak ke Salatiga. Yah, kita mengunjungi School of Life Lebah
Putih…
Di
School of Life Lebah Putih, anak-anak akan belajar dalam suasana gembira, di
sekolah dengan halaman luas, di tengah kebun yang tenang. Anak-anak akan
leluasa aktif bergerak, bermain, dan bersosialisasi dengan nuansa alami,
belajar tanpa terasa dan tanpa perasaan terpaksa.
Sekilas tentang Inquiry Based Learning
Seorang
anak pada dasarnya adalah seorang “inquier”, seorang yang dipenuhi rasa ingin
tahu, bertanya dan mengumpulkan informasi. Fitrah
seorang anak ini seringkali hilang seiring berjalannya waktu. Kemana sang
fitrah ini pergi?
Rupanya
kemampuan alamiah anak untuk memahami dunia dan kehidupan ini “banyak dimatikan”
oleh orang dewasa disekitarnya; bisa jadi dia adalah orang tua atau bahkan
guru. Proses ini tidak selalu didasarkan pada rasa tidak suka atau jengkel,
seperti tidak tahan terus menerus ditanya, capek melihat anak yang super aktif,
dan lain-lain, tetapi bisa juga karena didasarkan rasa kasih sayang, misalnya
ingin cepat-cepat memberi jawaban, segera menyelesaikan masalah dan kesulitan
yang dihadapi anak, menurut setiap kemauan anak tanpa seleksi dan lain
sebagainya.
Inquiry
Based Learning ingin mengembalikan dan mengembangkan fitrah anak sebagai “The
Inquirer” melalui proses: (1) Aktif bertanya, (2) Aktif memecahkan
masalah, dan (3) Berpikir kritis dan kreatif. (http://padepokanlebahputih.com,
diakses pada tanggal 13 September 2012, pukul 20:08 WIB)
Di School
of Life Lebah Putih, saya mengenal kakak-kakak yang luar biasa, sebutan
untuk guru di sekolah ini. Saya yakin, sekolah semacam ini akan melahirkan
generasi yang kuat, mandiri, dan luar biasa. Semoga.
Perjalanan
tak belum berhenti, pak supir bus pun tanpa rasa lelah langsung mengantarkan
kami ke Qaryah Thayyibah Indonesia, Jalan Ja’far Shodiq 36 Kalibening, Tingkir,
Kota Salatiga, Jawa Tengah. Senja pun menyambut kami di tempat ini. Udara
dingin khas lereng pegunungan tampaknya selalu melindungi tubuh kami.
SPPQT atau
Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah adalah organisasi massa petani
non-partisan, independen dan non-profit yang didirikan oleh perwakilan
Kelompok/Paguyuban Petani dan aktifis gerakan petani pada tanggal 10 Agustus
1999 di Salatiga-Jawa Tengah. Nama “Qaryah Thayyibah” diambilkan dari bahasa
Arab yang artinya adalah “Desa yang Berdaya”. (http://sppqt.or.id/?lang=id&rid=2,
diakses pada tanggal 13 September 2012, pukul 20:10 WIB)
Malam pun
tiba, sehabis makan malam bersama, kami berkumpul di pendhapa[4].
Memasuki pendhapa, kami disambut dengan ramah, “Ayo mas,
diambil makanannya”, “Nggih Pak, matur nuwun,” jawab saya. Tak lama,
diskusi dan berbagi cerita pun dimulai. Pertama, Pak Bahruddin dan Bu Ruth
memberikan sambutan hangat, kemudian kami, diwakili Mas Timmy, mengutarakan
maksud kedatangan kami. Diskusi pun dimulai, seperti air yang mengalir, semakin
lama semakin deras saja. Sambil berdiskusi, nyamikan khas desa pun
turut mewarnainya, ada gethuk, ada gedhang godhog, ada timus,
dan lain sebagainya.
Membicarakan
dan membahas desa, seolah-olah tak ada habisnya, mulai dari kehidupan
masyarakat desa hingga feminisme pun dibicarakan. Tak terasa jam di dinding
sudah menunjukkan pukul 11 lewat. Kami pun mengakhirinya, dan bergegas menuju
bangunan di belakang pendhapa, Young Fellow pun berdiskusi
untuk membahas Social Entreprise Club (SEC).
Tak mudah
menyatukan pikiran-pikiran kala itu, kami menyetujuhi pukul 01.00 WIB harus
selesai. Saya percaya, berdiskusi di saat jam goblog[5]
ini akan menghasilkan karya-karya yang luar biasa. Setelah ngalor ngidul,
ngetan ngulon[6], kami merumuskan SEC ini adalah
wadah yang mempunyai nilai-nilai dasar. Tujuh nilai-nilai dasar SEC adalah
Belajar, Passion, Keluarga, Jaringan, Mandiri, Berguna, dan
Inspiratif.
Selasa, 11 September
2012
Pagi yang
cerah kembali menemani, ku langkahkan kaki melihat dan merasakan hangatnya
mentari. Hamparan sawah dan ladang yang hijau, pohon kelapa yang berjajar rapi,
ditambah gunung yang biru, Allahu Akbar!
Setelah
berkemas-kemas, kami berpamitan. Pukul 07.30, bus kami mulai meninggalkan desa
ini. Terima kasih semuanya, warga desa, dan alam lereng gunung Merbabu. Semoga
bisa berjumpa kembali.
“Salatiga hingga Jakarta, sekali lagi,
bukanlah jarak yang dekat, banyak cerita di luar jendela sana.” –Arif Nur Setiawan, 2012-
Perjalanan
kembali dilanjutkan, kali ini bukan untuk berangkat, tapi untuk pulang ke
Jakarta. Tak kalah menariknya, di kanan, kiri, dan depan jendela bus, ku lihat
sejuta cerita. Melintasi kota-kota pantai utara. Sawah-sawah yang luas
membentang. Hamparan hutan jati yang perkasa. Gusti, kau semakin
nyata.
“Perjalanan kali ini, bagian dari
perjalanan mencapai kesempurnaan-Mu, Gusti.”
–Arif Nur Setiawan,
2012-
Singkat
cerita, sampailah kami di Jakarta, berhenti di Margonda, dan ditutup dengan
makan malam bersama. Terima kasih semua, semoga kita bisa berkarya bersama
untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. Holopis kuntul baris[7]. Salam
Budaya!
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1] Semelah Mbah Buyut = Bismillah kepada
Sang Pencipta.
[2] Prihatin = hati yang perih.
[3] Dr. F.X. Rahyono, M. Hum,
Jumat, 14 September 2012.
[4] Pendhapa = ruang depan rumah
joglo, biasanya digunakan untuk tempat berkumpul atau menyelenggarakan
acara-acara.
[5] Jam goblog = pukul 00:00 –
05.00 WIB.
[6] ngalor ngidul, ngetan ngulon = ke
segala arah (empat arah).
[7] Holopis kuntul baris = bersama-sama,
bahu-membahu menciptakan perubahan yang lebih besar, untuk kehidupan yang lebih
baik.
Arif Nur Setiawan
1006699745, Program Studi Jawa
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia
Twitter: @arifnursetiawan
Blog: www.gubugui.blogspot.com
Email: javanologi@gmail.com/ arif.nur01@ui.ac.id
0 komentar:
Post a Comment